Sangat memperihatinkan memang kondisi yang terjadi di Indonesia. Anggrek yang termasuk jenis bunga tropis ini, ternyata tak mampu dihasilkan Indonesia yang musim kemaraunya sangat panjang dalam jumlah yang berlimpah dan berkualitas tinggi. Sehingga kebutuhan dalam negeri pun harus ditutup dengan mengimpor dari Thailand dan Taiwan Padahal Jembatan SURAMADU Akan diresmikan Oleh SBY.
Keprihatinan itu rupanya sangat menyesaki fikiran Prof. Dr. Ir. Titis Adisarwanto --seorang peneliti anggrek asal Malang. Menurut ia, kondisi yang menimpa pasar anggrek di Indonesia hendaknya harus segera di atasi. Impor anggrek harus secepatnya dihentikan.
“Salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem pengembangan konvensional yang selama ini dilakukan para breeder. Alternatif paling ideal yang harus dilakukan adalah pengembangan bersistem kultur jaringan cloning,” kata Titis di sela-sela pameran PAI (Pecinta Anggrek Indonesia) Cabang Malang di Gedung Krida Univ. Negeri Malang April lalu.
Kalaulah para breeder berani melakukan perubahan system pengembangan itu, diyakini, sistem kultur jaringan cloning mampu mendongkrak citra anggrek Indonesia untuk berbicara di tingkat internasional.
Memang, untuk mengembangkan sistem kultur jaringan cloning sangat membutuhkan investasi yang besar. Namun, alternative ideal satu-satunya ini harus berani diambil alih para breeder Indonesia. Keuntungan atas keputusan ini sangat banyak. Selain para pengembang anggrek memiliki sebuah teknologi baru, yang menjanjikan keuntungan banyak. Kondisi pasar yang empat tahun terakhir sekitar 70% dipenuhi oleh anggrek impor, maka pada dua tahun ke depan pasar nasional sudah mampu direbut anggrek Indonesia.
“Sebaliknya jika para breeder tidak mau meningkatkan kualitas pengetahuannya dalam teknologi penelitian tentang cloning, saya yakin pada 5 tahun mendatang anggrek yang mengisi pasar nasional adalah anggrek import,” ujarnya.
Wacana yang ditawarkan Titis Adisarwanto, ternyata tidak sekadar teori saja. Diam-diam ia sendiri telah berhasil mengembangkan teknologi cloning ini meski jumlahnya sedikit dan kualitasnya sangat tinggi dan standar internasional. “Jika saya bisa mengembangkan teknologi cloning yang menjanjikan keuntungan ini, tentunya para breeder yang lebih berpengalaman pasti bisa,” katanya.
Menurut ia, sebagian yang mengusai teknologi bisa memulai sistem cloning ini pada saat ini. Memang kendala pendanaan siap membentur para breeder, tapi kendalan ini pasti memiliki alternative solusi yang ideal. Misalnya, menyelenggarakan sistem cloning ini dengan cara berkelompok. Setelah menghasilkan hasil pembibitan dengan standar kualitas internasional, barulah masing-masing breeder melakukan pengembangan secara individu. Sehingga dalam sebuah kelompok kerja dapat dilahirkan beragam anggrek berkualitas internasional yang beragam.
TIDAK MAMPU
Kelemahan dalam memenuhi kebutuhan pasar nasional itu, tidak dipungkiri Untung Santoso selaku Ketua I PAI Batu – Malang. Menurut ia, ketidakmampuan breeder memenuhi pasar itu sudah berlangsung lama. Ia sendiri juga mengalami kondisi memprihatinkan ini. Misalnya tuntutan pasar pada dirinya atas pesanan 1.000 buah anggrek botol pada setiap bulan, yang sifatnya temporer. Akibat tak mampu memenuhi permintaan dari Kalimantan itu, mhan itu dengan anggrek impor dari Thailand atau pun Taiwan.
“Import merupakan sesuatu hal yang wajar. Permasahannya jika kita tidak mampu memperbaiki diri untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas, maka sampai kapan pun tidak akan memecahkan masalah yang mengancam pasar anggrek Indonesia ini”, ujar dosen Univ. Muhammadiyah Malang ini.
Untuk melakukan perubahan itu, dikatakan, hendaknya dilakukan dalam koridor yang sistematis, seperti menyelenggarakan sebuah forum yang bisa mempertemukan antara pemerintah dan pembudidaya anggrek. Dalam pertemuan itu dilakun untuk mengambil suatu solusi terbaik bagi perkembangan anggrek Indonesia.
Dicontohkan, acara dialog dengan Ibu Mufidah Jusuf kalah selaku Ketua Umum DPP_PAI, yang baru-baru ini digelar di Prigen Pasuruan Jawa Timur. “Tapi pertemuan-pertemuan seperti itu harus ditindak lanjuti secara serius dan berkesinambungan”, ujarnya
Sebetulnya industrialisasi anggrek, terutama jenis phalaenopsis (anggrek bulan) sudah ada di Jawa Barat, maka harga anggrek jenis ini tergolong murah dibandingkan jenis lainnya. Itupun bahan dasarnya dari Taiwan jadi disana pun hanya pembesaran saja. “Harga anggrek dipasar stabil, Cuma kita belum berfikir proses industrialisasi yang besar yang panjang yang melibatkan banyak orang, sehingga banyak orang yang termakmurkan oleh proses tersebut”, ungkapnya.
Sedangkan untuk membuat suatu cloning tertentu tidak semudah membalik telapak tangan, tapi butuh proses yang panjang. Industrialisasi anggrek tersebut harus bisa memenuhi permintaan pasar, sementara kondisi saat ini banyak pengembang anggrek lebih memilih anggrek dari unsur keunikan atau kelangkaannya saja. Sedangkan kebutuhan anggrek oleh tidak terperhatikan.
“Jadi saya menilai para penyilang anggrek sebagai seorang seniman, jadi lebih harus ada sentuhan-sentuhan teknis untuk mengarahkan para penyilang itu mengembangkan secara industrialisasi”, tambahnya.
Kondisi anggrek dendrobium bulat yang disukai pasar, misalnya. Menurut ia, kondisi ini membuat jenis dendrobium dinilai sebagai anggrek pasaran. Para penyilang pun jarang menyilangkan jenis tersebut, lebih memilih menyilangkan yang unik dan langka. “Sebenarnya memberikan penyadaran tadi memang butuh proses yang tidak semudah yang dibayangkan, butuh step by step. Seharusnya apa yang dibutuhkan pasar itu yang harus kita perbanyak”, kata Untung Santoso mengunci pembicaraan.
(Majalah Kembang Edisi 9 (Mei 2008)/yogie)
Keprihatinan itu rupanya sangat menyesaki fikiran Prof. Dr. Ir. Titis Adisarwanto --seorang peneliti anggrek asal Malang. Menurut ia, kondisi yang menimpa pasar anggrek di Indonesia hendaknya harus segera di atasi. Impor anggrek harus secepatnya dihentikan.
“Salah satu terobosan yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem pengembangan konvensional yang selama ini dilakukan para breeder. Alternatif paling ideal yang harus dilakukan adalah pengembangan bersistem kultur jaringan cloning,” kata Titis di sela-sela pameran PAI (Pecinta Anggrek Indonesia) Cabang Malang di Gedung Krida Univ. Negeri Malang April lalu.
Kalaulah para breeder berani melakukan perubahan system pengembangan itu, diyakini, sistem kultur jaringan cloning mampu mendongkrak citra anggrek Indonesia untuk berbicara di tingkat internasional.
Memang, untuk mengembangkan sistem kultur jaringan cloning sangat membutuhkan investasi yang besar. Namun, alternative ideal satu-satunya ini harus berani diambil alih para breeder Indonesia. Keuntungan atas keputusan ini sangat banyak. Selain para pengembang anggrek memiliki sebuah teknologi baru, yang menjanjikan keuntungan banyak. Kondisi pasar yang empat tahun terakhir sekitar 70% dipenuhi oleh anggrek impor, maka pada dua tahun ke depan pasar nasional sudah mampu direbut anggrek Indonesia.
“Sebaliknya jika para breeder tidak mau meningkatkan kualitas pengetahuannya dalam teknologi penelitian tentang cloning, saya yakin pada 5 tahun mendatang anggrek yang mengisi pasar nasional adalah anggrek import,” ujarnya.
Wacana yang ditawarkan Titis Adisarwanto, ternyata tidak sekadar teori saja. Diam-diam ia sendiri telah berhasil mengembangkan teknologi cloning ini meski jumlahnya sedikit dan kualitasnya sangat tinggi dan standar internasional. “Jika saya bisa mengembangkan teknologi cloning yang menjanjikan keuntungan ini, tentunya para breeder yang lebih berpengalaman pasti bisa,” katanya.
Menurut ia, sebagian yang mengusai teknologi bisa memulai sistem cloning ini pada saat ini. Memang kendala pendanaan siap membentur para breeder, tapi kendalan ini pasti memiliki alternative solusi yang ideal. Misalnya, menyelenggarakan sistem cloning ini dengan cara berkelompok. Setelah menghasilkan hasil pembibitan dengan standar kualitas internasional, barulah masing-masing breeder melakukan pengembangan secara individu. Sehingga dalam sebuah kelompok kerja dapat dilahirkan beragam anggrek berkualitas internasional yang beragam.
TIDAK MAMPU
Kelemahan dalam memenuhi kebutuhan pasar nasional itu, tidak dipungkiri Untung Santoso selaku Ketua I PAI Batu – Malang. Menurut ia, ketidakmampuan breeder memenuhi pasar itu sudah berlangsung lama. Ia sendiri juga mengalami kondisi memprihatinkan ini. Misalnya tuntutan pasar pada dirinya atas pesanan 1.000 buah anggrek botol pada setiap bulan, yang sifatnya temporer. Akibat tak mampu memenuhi permintaan dari Kalimantan itu, mhan itu dengan anggrek impor dari Thailand atau pun Taiwan.
“Import merupakan sesuatu hal yang wajar. Permasahannya jika kita tidak mampu memperbaiki diri untuk meningkatkan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas, maka sampai kapan pun tidak akan memecahkan masalah yang mengancam pasar anggrek Indonesia ini”, ujar dosen Univ. Muhammadiyah Malang ini.
Untuk melakukan perubahan itu, dikatakan, hendaknya dilakukan dalam koridor yang sistematis, seperti menyelenggarakan sebuah forum yang bisa mempertemukan antara pemerintah dan pembudidaya anggrek. Dalam pertemuan itu dilakun untuk mengambil suatu solusi terbaik bagi perkembangan anggrek Indonesia.
Dicontohkan, acara dialog dengan Ibu Mufidah Jusuf kalah selaku Ketua Umum DPP_PAI, yang baru-baru ini digelar di Prigen Pasuruan Jawa Timur. “Tapi pertemuan-pertemuan seperti itu harus ditindak lanjuti secara serius dan berkesinambungan”, ujarnya
Sebetulnya industrialisasi anggrek, terutama jenis phalaenopsis (anggrek bulan) sudah ada di Jawa Barat, maka harga anggrek jenis ini tergolong murah dibandingkan jenis lainnya. Itupun bahan dasarnya dari Taiwan jadi disana pun hanya pembesaran saja. “Harga anggrek dipasar stabil, Cuma kita belum berfikir proses industrialisasi yang besar yang panjang yang melibatkan banyak orang, sehingga banyak orang yang termakmurkan oleh proses tersebut”, ungkapnya.
Sedangkan untuk membuat suatu cloning tertentu tidak semudah membalik telapak tangan, tapi butuh proses yang panjang. Industrialisasi anggrek tersebut harus bisa memenuhi permintaan pasar, sementara kondisi saat ini banyak pengembang anggrek lebih memilih anggrek dari unsur keunikan atau kelangkaannya saja. Sedangkan kebutuhan anggrek oleh tidak terperhatikan.
“Jadi saya menilai para penyilang anggrek sebagai seorang seniman, jadi lebih harus ada sentuhan-sentuhan teknis untuk mengarahkan para penyilang itu mengembangkan secara industrialisasi”, tambahnya.
Kondisi anggrek dendrobium bulat yang disukai pasar, misalnya. Menurut ia, kondisi ini membuat jenis dendrobium dinilai sebagai anggrek pasaran. Para penyilang pun jarang menyilangkan jenis tersebut, lebih memilih menyilangkan yang unik dan langka. “Sebenarnya memberikan penyadaran tadi memang butuh proses yang tidak semudah yang dibayangkan, butuh step by step. Seharusnya apa yang dibutuhkan pasar itu yang harus kita perbanyak”, kata Untung Santoso mengunci pembicaraan.
(Majalah Kembang Edisi 9 (Mei 2008)/yogie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar